Review Buku: “The Conveniece Store Women” oleh Sayaka Murata.
Kritik Murata terhadap kapitalisme dan Konformitas Sosial
“The Conveniece Store Women” atau dalam versi bahasa Indonesia “Gadis Minimarket” adalah karya pertama oleh seorang penulis kontemporer perempuan asal Jepang bernama Sayaka Murata.
Gak jauh beda dengan karya sebelumnya, Murata memang sering menghasilkan karya fiksi eksperimental yang mengkritik kehidupan sosial, terutama di masyarakat modern.
Hal yang paling mencolok pada buku yang satu ini adalah kritiknya akan konformitas sosial yang terjadi di Jepang. Gak cuman terjadi di Jepang aja sih, ini udah jadi problematika masyarakat global.
Tekanan politik dan sosial yang mendorong individu untuk mematuhi norma-norma yang ada, memang merugikan eksentrisitas individu dan kebebasan personal di masyarakat modern.
Tekanan politik dan sosial tsb juga menciptakan pertentangan antara identitas individu dan tuntutan kolektif yang dominan dalam sistem politik dan tatanan sosial. Yupp, karena rules masyarakat kolektif dominan cenderung menolak atau tidak menyukai sesuatu yang berbeda atau tidak sesuai dengan norma yang telah ditetapkan. Orang-orang selalu menolak segala sesuatu yang dianggap asing atau tidak lazim karena adanya tekanan sosial untuk konformitas di masyarakat mereka.
Melalui karakter Keiko Furukura, Sayaka Murata menggali dalamnya kompleksitas politik sosial tsb.
Keiko adalah perempuan Jepang berusia 36 tahun, ia adalah individu yang enggan mengikuti norma-norma sosial atau konvensi tradisional. Jelasnya, Keiko menolak ekspektasi tradisional terhadap perempuan, seperti menikah dan memiliki anak. Sikapnya yang mandiri dan tidak tergantung pada norma-norma gender membawa nuansa perlawanan terhadap konformitas sosial.
Dianggap tak lazim, usia Keiko pun sangat mencerminkan kecemasan demografis dalam masyarakat Jepang yang telah mengalami penurunan tingkat pernikahan dan tingkat kelahiran yang rendah selama bertahun-tahun. So, Keiko ini emang sangat bertentangan dengan ekspektasi sosial di masyarakat.
Kemudian, Keiko menemukan kenyamanan dan “identitas”-nya di minimarket.
Bekerja di minimarket membuat ia merasa memiliki tujuan dan ia menemukan kepuasan hidup dalam rutinitasnya yang berulang.
Tak ada orang-orang (pegawai) yang mengusik kehidupan personalnya-awalnya-karena di dalam dunia pekerjaan, Keiko sadar, mereka hanya membutuhkan tenaganya. Sesungguhnya disini, Sayaka Murata sedang menyelipkan kritik tersirat terhadap kapitalisme. Sebagai berikut:
(1.) Keiko yang bekerja sebagai pegawai minimarket menuai cibiran oleh orang terdekatnya. Dikarenakan pekerjaannya dianggap rendahan oleh standar masyarakat. Meskipun begitu, Keiko menolak tekanan dari orang terdekatnya untuk mengejar karir lebih tinggi.
Disini Murata memberi gambaran bahwa kebahagiaan dan nilai diri seseorang tidak harus selalu diukur oleh prestise pekerjaan atau gaji yang tinggi, dan makna hidup tidak selalu terkait dengan pencapaian material atau status sosial. Ini terjadi karena norma-norma sosial yang diterapkan oleh kapitalisme selalu mengukur kesuksesan dan kebahagiaan seseorang berdasarkan pencapaian karir dan kehidupan keluarga. Begitu pula budaya konsumtif dalam masyarakat kapitalis, dimana nilai seseorang seringkali diukur oleh apa yang dimilikinya.
(2.) Keiko ibarat "roda gigi" dalam mesin kapitalis, ia melakukan pekerjaan sangat baik di tempat kerja tanpa banyak keluhan dan pertanyaan. Ia hanya tahu bahwa ia harus bekerja dengan sangat-sangat baik sesuai keinginan atasannya, agar ia tetap berguna bagi minimarket tersebut. Bahkan ia menolak untuk menua. Karena perusahaan mana yang akan menerima pegawai berumur yang tenaganya tak bisa dimanfaatkan.
Hal tsb memberi gambaran bagaimana sistem kapitalis selalu menganggap individu adalah alat untuk mencapai tujuan ekonomi, dan sangat jarang atau menjadi pantang bagi individu tsb mempertanyakan struktur dan nilai-nilai yang mendasarinya.
Keiko dan Shiraha(?)
Shiraha adalah karakter penyokong plot dalam cerita. Perannya disini memicu konflik dan memberikan kontrast tajam dengan karakter Keiko dalam menyoroti perbedaan pandangan mereka terhadap konformitas sosial.
Shiraha digambarkan sebagai pria yang lemah dan malas. Ia kehilangan pekerjaannya karena ia menolak melakukan tugas-tugas yang seharusnya ia lakukan sebagai karyawan.
Shiraha memiliki pandangan misoginis garis keras. Ia menciptakan pandangan stereotip tentang peran gender dan menolak untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Pemikiran dan tindakannya terhadap perempuan mencerminkan sikap yang tidak direformasi.
Lucunya, meskipun dia menunjukkan sikap negatif terhadap perempuan, dia memiliki obsesi untuk menemukan seorang istri yang bisa membiayai kebutuhannya dan mewujudkan mimpinya.
Pertemuan Shiraha dan Keiko dimulai di tempat kerja yang sama, dan sebuah konflik yang dipicu oleh Shiraha pula membawa Keiko menawarkan kesepakatan hidup bersama. Tentu kesepakatan ini lebih mengarah ke konformitas palsu untuk memenuhi ekspektasi sosial alih-alih adanya ikatan emosional yang kuat di antara mereka.
Dengan kesepakatan yang dibuat oleh Keiko dan Shiraha, Shiraha malah memanfaatkan hubungannya dengan Keiko untuk mencapai tujuannya.
Dengan pandangan misoginisnya, Shiraha mencoba mengontrol Keiko dan mendikte apa yang dianggapnya menjadi keharusan peran dan tugas perempuan. Keiko, meskipun awalnya terlihat tunduk, kemudian memiliki kekuatan sendiri dalam menjalani kehidupannya sesuai keinginannya.
Di dalam cerita Shiraha secara eksplisit mengkritik perubahan dalam masyarakat modern dan mempertahankan pandangan yang konservatif. Dia membandingkan zaman modern dengan zaman batu dan mengutuk perubahan-perubahan tersebut.
Dan, iya, yang paling saya pribadi gak suka pada buku ini adalah ketika munculnya karakter Shiraha ini. Saya mendapatkan Shiraha ini semacam karakter benalu pengganggu ketenangan Keiko. Pria sialan yang selalu menjadi sosok yang mempertanyakan gaya hidup Keiko, pengganggu rutinitas Keiko, dan selalu mencoba meyakinkan Keiko untuk mengubah pola hidupnya. Ini seriusan bikin saya pribadi benar-benar geram.
Karakter Shiraha ini jelas tergambar sebagai individu manipulatif, yang sedang berupaya untuk mengubah sistem dengan cara yg seenak jidat. Tapi ya saya akui pula, peran Shiraha disini berhasil mengungkapkan keinginan sejati Keiko.
Setelah baca buku ini saya sangat mengapresiasi kesederhanaan cara Murata menulis. Sayaka Murata berhasil merinci secara sangat personal kehidupan seorang perempuan yang berusaha menjalani kehidupannya sambil dengan tekun menjelajahi kompleksitas dunia melalui minimarket. Meskipun saya ada kekhawatiran yang mendasar akan kemungkinan terlewatnya pesan atau metafora mendalam, naratifnya dengan cemerlang menimbulkan empati terhadap upaya karakter yang tak lazim ini untuk menjadi yang terbaik dalam lingkup minimarket. Meski ketidakpastian persisten mengenai kemungkinan kelupaan makna yang substansial, pengalaman saya dengan novel ini amat membekas seperti novel karya Sayaka Murata lainnya.